Bekasi, Info Pendidikan
“Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga”. Peribahasa ini seakan membenarkan apa yang sedang terjadi dan viral di berbagai media sosial dan pemberitaan elektronik yang mendiskreditkan salah satu guru di SMAN 12 Bekasi.
Berawal dari viralnya video pendek yang mempertontonkan seorang guru sedang “memukuli” siswa. Video ini kemudian menjadi berita mengikuti statement salah satu guru lain yang terlepas bicara mengomentari perilaku guru bersangkutan.
Banyak judul-judul “menyeramkan” yang dikedepankan menghantam sang guru, membuat posisi guru itu semakin terpojokkan. Dan akibat derasnya desakan dari berbagai kalangan, baik netizen, media massa, Dewan Pendidikan Kota Bekasi, membuat pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat juga turun tangan dan turut mengomentarinya. Dan terakhir Ombudsman RI juga ikut campur tangan.
Melihat banyaknya pemberitaan miring ini, IP kemudian menyambangi SMAN 12 Bekasi, yang berlokasi di Jl. Ngurah Rai, Bekasi Barat. Dan IP disambut Irnatiqoh, Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas, SMAN 12 Bekasi. Irna lalu menginformasikan secara penuh dan lengkap seputar kejadian sebenarnya.
Sesuai penuturan Irna, Sebelumnya sekolah, melalui bidang Kesiswaan, sudah mengumumkan bahwa Pintu Masuk Belakang ditutup, dan hanya dibuka Pintu Masuk Depan. Keesokan harinya, entah mengapa, sekitar 172 siswa tercatat datang terlambat.
Setelah acara tadarusan dan literasi selesai, siswa masuk kelas, kemudian anak-anak yang terlambat dikumpulkan di tengah lapangan. Saat itu, salah satu staf kesiswaan (Imam) yang memberikan pembinaan, namun karena jumlah siswa yang terlambat sangat banyak, biasanya hanya 10 – 20 anak, akhirnya Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan (IM), yang juga merupakan guru mata pelajaran Geografi, datang ke lapangan membantu Imam yang terlihat sibuk karena banyaknya siswa yang harus dihadapinya.
Lalu, IM memeriksa kelengkapan atribut siswa, dan 5 anak terdapat tidak memakai ikat pinggang. Ke 5 anak itu kemudian diminta berdiri, sedangkan teman-temannya yang lain dalam posisi duduk.
Irma mengungkapkan bahwa dari ke 5 anak yang berdiri karena tidak memakai ikat pinggang itu, 2 diantaranya memang bermasalah, dan jadwalnya, orang tua mereka keesokan harinya memang diminta sekolah untuk datang perihal kelakuan anaknya.
“Saya memang tidak melihat dan mendengar langsung, tapi IM itu guru yang sangat disiplin. Prinsipnya, kalau guru sedang bicara, murid harus mendengarkan. Apalagi anak itu bersalah. Mungkin saat itu, ada anak yang tidak mendengarkan atau bersikap tidak pantas yang memancing emosinya,” kata Irna.
IM itu sebenarnya sangat “care” atau perhatian sama anak-anak. Setiap kegiatan siswa, dia yang paling antusias. Memang dia akan marah bila ada siswa yang nakal atau tidak tertib aturan. Tapi, tidak tiap saat dia marah-marah kalau tidak ada yang menyebabkannya.
“Makanya, seperti yang abang lihat sendiri, banyak sekali siswa yang dekat dengan IM dan tidak ingin IM pindah dari sekolah ini. Mereka bahkan ada yang sampai menangis,” tambah Irna.
Irna lalu menceritakan sedikit tentang IM. Seorang guru jebolan UNJ dan S-2 lulusan UI. Selain sebagai guru geografi dan sosiologi, IM juga seorang penulis buku pelajaran sosiologi. Dia guru yang pintar, tertib dan sangat perhatian kepada siswa dan selama ini sangat dekat dengan anak-anak.
“Kita memang sangat tidak membenarkan adanya tindak kekerasan kepada anak. Dan sangat menyesalkan kejadian itu. Tapi, kita sudah memberikan penjelasan kepada para orang tua murid, dan semua orang tua sudah memahami kondisi sebenarnya. Dan, mereka bahkan mengatakan, Iya enggak apa-apa bu. Kami paham, memang anak kami yang nakal,” ungkap Irna.
Banyak pihak dan masyarakat memang terlihat “over” dalam menyikapi kejadian pemukulan ini. Dan berlomba menjadi “pahlawan” seakan perhatian akan anak-anak dan siswa SMAN 12 Bekasi.Hampir semua memojokkan IM, dan menggiring opini seakan IM telah melakukan pelanggaran HAM Anak dan “membunuh” karakter IM.
Sedangkan di internal SMAN 12 sendiri, lebih banyak siswa yang sayang dengan guru itu dan siap membelanya. Seperti aksi terakhir, dimana ratusan siswa mengekspresikan rasa sayang mereka, menolak IM dipindah dari SMAN 12.
Saut MN, pemerhati sosial kepada IP mengatakan bahwa sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini. Dia melihat bahwa reaksi publik terlihat sangat berlebihan. Media Sosial menjadi sarana efektif dalam menggiring opini dan menghukum IM tanpa proses pengadilan.
“IM menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana dalam waktu yang begitu cepat. Publik menghukumnya tanpa proses pengadilan,” kata Saut dengan nada tinggi.
Lebih lanjut Saut mengatakan, akibat penggiringan opini ini, publik jadi lupa bahwa IM adalah seorang GURU. Dan bukan sekedar guru. Dia sudah mengabdi sekian tahun, dia juga seorang guru yang berprestasi, tertib dan dekat dengan siswa.
“Kekerasan memang tidak dapat dibenarkan. Apalagi dalam hal mendidik anak, namun ketegasan juga adalah prinsip yang tidak boleh hilang dari seorang guru.
Karena ketegasan itu menyangkut wibawa seorang guru. Jika ketegasan guru sudah hilang, wibawa guru pun akan hilang. Ketika wibawa guru hilang, ligitimasi guru dalam mendidik siswa akan dipertanyakan. Nah, akan berbahaya sekali ketika wibawa seorang guŕu itu sudah hilang,”tambah dia.
“Ini ibarat ada susu sebelanga, rusak hanya karena nila setitik,” sindirnya.■(GP-IP2)