Bekasi, Info Pendidikan
Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Pemerintah, baik pusat dan daerah menjamin semua warganya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan murah. Khusus untuk pendidikan dasar, pemerintah memastikan sekolah negeri bebas biaya.
Pemerintah Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), diberikan kewenangan untuk mengelola Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar (SD – SMP), sedangkan Pemerintah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola Pendidikan Menengah (SMA/SMK) dan Sekolah Luar Biasa.
Khusus di Kota Bekasi, sejak masih dikelola Pemerintah Kota Bekasi, SMA Negeri dan SMK Negeri sudah lama memberlakukan banyak “pungutan”. Meski banyak mendapat tentangan, namun aksi pungut-memungut di sekolah baik SMAN dan SMKN terus dipertahankan hingga sekarang. Walaupun pihak sekolah membungkusnya dengan kata sumbangan.
Berbagai “sumbangan” yang ada di sekolah, bila dilihat ciri dan sifatnya, tetaplah merupakan pungutan. Dan cenderung menjadi pungutan liar karena tanpa payung hukum yang jelas. Anehnya, sekolah-sekolah selalu berdalih pada Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 sebagai payung hukum legalitas pungutan yang mereka lakukan.
Pertanyaan mendasar sebenarnya adalah, apakah sekolah dapat memungut uang dari orang tua peserta didik? Atau, apakah sekolah dapat menerima sumbangan dari masyarakat?
Kedua-duanya diperbolehkan, selama, jika dan hanya jika, ada payung hukumnya dan ada SK Penunjukannya.
Saat IP mempertanyakan hal tersebut di atas, apakah sekolah dapat memungut dan atau menerima sumbangan, Asep Sudarsono, Kepala KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Jawa Barat menshare Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 44 Tahun 2022 (Pergub 44 tahun 2022) sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilayangkan IP.
Adapun Pergub diatas adalah peraturan gubernur tentang Komite Sekolah Pada Sekolah Menengah Atas Negeri, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri, Dan Sekolah Luar Biasa Negeri.
Sekilas, pergub ini kelihatannya adalah turunan dari Permendikbud No. 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah, dengan beberapa modifikasi di beberapa pasalnya. Misalnya, pada pasal 3;
(1)Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Komite Sekolah bertugas untuk: a. memberikan pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan terkait: 1) kebijakan dan program Sekolah; 2) Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS);3) mutu pelayanan sekolah; 4) fasilitas pendidikan di sekolah; dan 5) kerja sama Sekolah dengan pihak lain. b. menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari orangtua/wali Peserta Didik, masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif ; c. mengawasi pelayanan pendidikan di Sekolah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan d. menindaklanjuti keluhan, saran, kritik, dan aspirasi dari Peserta Didik, orangtua/wali, dan masyarakat serta hasil pengamatan Komite Sekolah atas kinerja Sekolah melalui komunikasi dan musyawarah dengan pihak sekolah.
(2)Upaya kreatif dan inovatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kelayakan, etika, kesantunan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Permendikbud 75 tahun 2016, pasal 3 ayat (1)b, tertulis, b. menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif.
Jadi ada penambahan kata orangtua/wali Peserta Didik pada Pergub 44 tahun 2022. Dan untuk mempertegas bahwa Komite Sekolah diperbolehkan menggalang dana dari orang tua peserta didik, Pergub ini membuat rambu-rambu tentang Mekanisme Penggalangan Dana, di pasal 15 ayat 5; Musyawarah antara Komite Sekolah dengan orangtua/wali Peserta Didik dimaksud pada ayat (3), harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut: a. surat undangan musyawarah dari Komite Sekolah kepada orangtua/wali Peserta Didik, diketahui oleh Kepala Sekolah; b. daftar hadir peserta rapat/musyawarah, yang berisi nomor, nama orangtua/wali, nama Peserta Didik, dan tandatangan sebagai bukti kehadiran; c. notulensi rapat yang ditandatangani petugas notulensi, pimpinan rapat/ketua Komite Sekolah dan Kepala Sekolah; d. Berita Acara Pelaksanaan Rapat, dilengkapi dokumentasi visual rapat; e. surat pernyataan orangtua/wali bermaterai, yang pada pokoknya berisi: 1) ikut serta/hadir dalam rapat/musyawarah; 2) setuju dengan kategori sumbangan yang telah disepakati dalam rapat/musyawarah; dan 3) bersedia memberi sumbangan dengan memilih kategori besaran disesuaikan dengan kemampuan.
Pasal ini sedikit menggelitik, bagaimana orang tua peserta didik dimintai sumbangan oleh Komite Sekolah tapi harus membuat surat pernyataan yang isi surat pernyataannya menyatakan ikut serta/hadir dalam rapat/musyawarah, setuju dengan kategori sumbangan yang telah disepakati dalam rapat/musyawarah, dan bersedia memberikan sumbangan dengan memilih kategori besaran sumbangannya, diatas materai.
Dalam catatan IP, modus meminta sumbangan tapi harus terlebih dahulu membuat surat pernyataan bermaterai ini sudah berlangsung beberapa tahun. Sebuah fenomena yang menarik yang terjadi di SMA-SMK Negeri di Kota Bekasi. Orang tua memberikan sumbangan, tapi wajib membuat surat pernyataan. Ini bukanlah lagi sumbangan, tapi sebuah intimidasi.
“Ada yang perlu diluruskan disini,” ujar Rusben Siagian kepada IP, “saya tidak pernah melihat orang memberikan sumbangan tapi membuat surat pernyataan. Apalagi ini surat pernyataan diatas materai. Pak Gubernur harus segera mencabut Pergub ini karena sudah salah kaprah.”
“Ayo, kamu nyumbang ya. Tapi, kamu harus bikin surat penyataan diatas materai kamu nyumbang berapa dan kapan kamu serahkan sumbanganmu, karena ini sudah hasil keputusan rapat. Huh, ini bukan minta sumbangan namanya. Ini maksa, intimidasi. Saya nggak pernah lihat orang minta sumbangan seperti ini modelnya. Apalagi ini dilakukan oleh komite sekolah kepada orang tua peserta didik,” sindirnya sambil tertawa.
“Bagaimana kalau seandainya orang tua murid itu gagal janji, wanprestasi tidak dapat merealisasikan janjinya sesuai dengan surat pernyataan yang telah dibuatnya? Komite Sekolah mau menuntut orang tua murid itu? Terus, kalau memang begitu kejadiannya, ini kejam namanya,” tambahnya lagi.
Sampai berita ini diturunkan, Asep Sudarsono Kepala KCD Wilayah III Dinas Pendidikan Jawa Barat belum memberikan komentarnya.■ (GP-IP2)